A
rswendo not only pioneered many aspects of popular culture studies in Indonesia, but he was also a catalyst in our popular culture. In the world of Indonesian comics, his leadership and activity have driven further development of Indonesian comics, or what he called “cergam.” Six years after he came to Jakarta from Solo, he was trusted by the Gramedia publishing group to lead the Hai teenage magazine. The magazine debuted on January 5, 1977, and until the end of the 1980s, it introduced a lot of Indonesian and global comic treasures to Indonesian teenagers.
Under Wendo’s guidance, who was a comic and pop novel fan, Hai magazine translated comic series such as Trigan, Arad & Maya, Coki the Fast Painter, Nina, Ruby the Little Fox, and others. The same went for cergam Nusantara: Wendo invited many cergam artists who had already become stars, such as Jan Mintaraga (he was even entrusted with the influential drawing lesson column), Teguh Santosa (who created a series featuring one of the strongest female characters in cergam history, Mahesa Rani), Wid NS, Hasmi, and also many unknown cergam artists for short or serialized comics. Wendo also initiated the conversion of Indonesian classical poetry works by Rendra (for example, Balada Sumilah) or Taufik Ismail into short comics in Hai magazine. In the 1990s, a significant illustrator in the history of Indonesian popular illustration named Wedha created the Si Ninol strip comic.
When he started a series of journalistic articles/essays on Indonesian comics entitled “Komik Itu Baik” in 1979, Arswendo pioneered a study of Indonesian popular culture. The background was not academic, and neither was the writing style. However, in this series of writings, there was a unique perspective – a “voice from within” the creative narrative visual world, detached (Wendo wanted to challenge the common view that “comics are bad”), and containing seeds of thought and ideas about the close cultural relationship between our society and comics. Born from a packet of salted fish, it grew into an essential aspect of our culture – and Wendo was one of the first to open our eyes to this.
A
rswendo bukan hanya memelopori banyak aspek dari kajian budaya popular di Indonesia, ia juga seorang katalis dalam budaya popular kita. Dalam dunia komik Indonesia, tampak kepeloporan dan keaktifannya mendorong perkembangan lebih jauh komik Indonesia, atau yang ia kenal sebagai “cergam”. Enam tahun setelah ia datang ke Jakarta dari Solo, ia dipercaya oleh grup penerbit Gramedia untuk memimpin majalah remaja Hai. Majalah tersebut terbit perdana pada 5 Januari 1977, dan hingga akhir 1980-an banyak mengenalkan khasanah komik Indonesia dan dunia kepada remaja Indonesia.
Atas arahan Wendo, yang memang penggemar komik dan novel-novel pop, majalah Hai menerjemah komik seri Trigan, Arad & Maya, Coki Si Pelukis Cepat, Nina, Rubi si Rubah Kecil, dsb. Begitu juga dengan cergam Nusantara: Wendo mengajak banyak seniman cergam yang telah bertaraf bintang seperti Jan Mintaraga (dia bahkan diserahi rubrik pelajaran menggambar yang sangat berpengaruh), Teguh Santosa (yang mencipta seri dengan tokoh utama salah satu karakter perempuan terkuat dalam sejarah Cergam, yakni Mahesa Rani), Wid NS, Hasmi, juga para seniman cergam yang belum terkenal untuk komik pendek atau bersambung. Termasuk, menginisiasi alih wahana puisi klasik Indonesia karya Rendra (misalnya, Balada Sumilah) atau Taufik Ismail, menjadi komik pendek di majalah Hai. Pada 1990-an, ilultrator penting dalam sejarah ilustrasi popular Indonesia, bernama pena Wedha, mencipta komik setrip Si Ninol.
Ketika pada 1979 ia memulai sebuah rangkaian artikel/esai jurnalistik tentang komik Indonesia bertajuk “seri Komik Itu Baik”, Arswendo memelopori sebuah kajian budaya popular Indonesia. Latarnya tidak akademik, demikian juga gaya penulisannya. Tapi, dalam rangkaian tulisan itu, ada perspektif unik –sebuah “suara dari dalam” pelaku kreatif dunia narasi visual, menyempal (Wendo ingin melawan pandangan umum bahwa “komik itu buruk”), dan mengandung bibit pemikiran dan gagasan tentang lekatnya relasi kultural masyarakat kita dengan komik. Lahir dari bungkus ikan asin, tumbuh jadi sebuah segi penting kebudayaan kita –dan Wendo salah satu yang pertama membuka mata kita soal ini.