Skip to content Skip to footer

Seniman Komik

Teguh Santosa

 O

ne of the greatest craftsmen in Indonesian comics history, Teguh Santosa (1942-2000) inspired “Teguh style” –a school of comics making in Indonesia that was inspired by his visual style that was quite popular during the ’80s. His Sandhora trilogy, published in early 1970s, was often cited as one of the best Indonesian graphic novels.

Teguh developed his style in three stages. In his early creative stage from 1966 and culminated in 1968, his visual style was academic, with a penchant for detailed setting in every panels as well as westernized anatomy of his characters. In this period, he produced memorable short graphic novels such as Bukan Tebusan Dosa, Madeleine, El Maut di Maladewa, and Dibakar Api Dendam. His next development was during the second great era for Indonesian comics industry throughout 1970’s. In this period, his style developed into more expressive, suggestive, and sometimes surreal style of visualization. He also cemented his reputation as a maestro of darkness with masterful use of black ink and chiaroscuro technique.

In the second stage development, Teguh published some of his, story-wise, finest historical-drama graphic novels: the legendary Sandhora Trilogy, Kraman, Godfather 1800 (1976) and Gitanjali (1978). But he also published a mountain of Silat comics. In 1980s, he worked with several magazines and also explored his visual storytelling with larger format than the popular A5 books format. This was the third stage of his artistic development. In this period, he also played with colors in his retelling of Mahabharata.

Teguh Santosa consistently created strong female characters. He was also arguably the only Indonesian comics artist that consistently created great historical maritime stories. 

Teguh Santosa was a highly influential comics artist in Indonesia, who is known for his distinctive style and memorable works. He developed his style over three stages of his artistic development, starting with an academic approach in the 1960s and culminating in his exploration of color and larger formats in the 1980s.

Teguh Santosa was a highly influential comics artist in Indonesia, who is known for his distinctive style and memorable works. He developed his style over three stages of his artistic development, starting with an academic approach in the 1960s and culminating in his exploration of color and larger formats in the 1980s.

One of Teguh’s most famous works is the Sandhora trilogy, which was published in the early 1970s and is often cited as one of the best Indonesian graphic novels. The trilogy tells the story of a female warrior who leads a rebellion against a corrupt government, and is notable for its strong female protagonist.

Teguh was also known for his historical-drama graphic novels, such as Kraman, Godfather 1800, and Gitanjali. He was skilled in using chiaroscuro techniques to create moody, atmospheric visuals that captured the historical settings of his stories.

In addition to his historical works, Teguh also created a large number of Silat comics, which were popular in Indonesia during the 1970s and 1980s. Despite this, he remained committed to creating strong female characters, something that was not common in Indonesian comics at the time.

Overall, Teguh Santosa’s contribution to Indonesian comics cannot be overstated. His influence on the industry can still be seen in the “Teguh style” of comics making that emerged in the 1980s, and his works continue to be celebrated by fans and artists alike.

 S

Salah satu seniman terbaik dalam sejarah komik Indonesia, Teguh Santosa (1942-2000) menginspirasi “gaya Teguh” – sebuah aliran pembuatan komik di Indonesia yang terinspirasi oleh gaya visualnya yang cukup populer selama tahun ’80-an. Trilogi Sandhora-nya, yang diterbitkan pada awal tahun 1970-an, sering disebut sebagai salah satu novel grafis Indonesia terbaik.

Teguh mengembangkan gayanya dalam tiga tahap. Pada tahap kreatif awalnya dari tahun 1966 dan mencapai puncaknya pada tahun 1968, gaya visualnya bersifat akademik, dengan kecenderungan pada setiap panel yang detail serta anatomi karakter yang terbaratkan. Pada periode ini, ia menghasilkan novel grafis pendek yang memorable seperti Bukan Tebusan Dosa, Madeleine, El Maut di Maladewa, dan Dibakar Api Dendam. Pengembangan selanjutnya terjadi selama era keemasan kedua untuk industri komik Indonesia sepanjang tahun 1970-an. Pada periode ini, gayanya berkembang menjadi lebih ekspresif, sugestif, dan kadang-kadang memiliki gaya visualisasi yang surreal. Ia juga memperkuat reputasinya sebagai maestro kegelapan dengan penggunaan tinta hitam yang mahir dan teknik chiaroscuro.

Pada tahap kedua pengembangannya, Teguh menerbitkan beberapa novel grafis sejarah-drama terbaiknya: trilogi Sandhora yang legendaris, Kraman, Godfather 1800 (1976), dan Gitanjali (1978). Namun, ia juga menerbitkan sejumlah besar komik Silat. Pada tahun 1980-an, ia bekerja dengan beberapa majalah dan juga mengeksplorasi pengisahan visualnya dengan format yang lebih besar dari format buku A5 yang populer. Ini adalah tahap ketiga pengembangan artistiknya. Pada periode ini, ia juga bermain-main dengan warna dalam pengisahan ulangnya tentang Mahabharata.

Teguh Santosa secara konsisten menciptakan karakter perempuan yang kuat. Ia juga mungkin adalah satu-satunya seniman komik Indonesia yang secara konsisten menciptakan kisah-kisah maritim sejarah yang luar biasa.

Teguh Santosa adalah seniman komik yang sangat berpengaruh di Indonesia, yang dikenal karena gaya yang khas dan karyanya yang memorable. Ia mengembangkan gayanya selama tiga tahap pengembangan artistiknya, mulai dari pendekatan akademik pada tahun 1960-an hingga eksplorasinya tentang warna dan format yang lebih besar pada tahun 1980-an.

Salah satu karya terkenal Teguh adalah trilogi Sandhora, yang diterbitkan pada awal tahun 1970-an dan sering disebut sebagai salah satu novel grafis Indonesia terbaik. Trilogi ini mengisahkan tentang seorang prajurit wanita yang memimpin pemberontakan melawan pemerintah korup, dan sangat terkenal karena protagonis perempuannya yang kuat.

Teguh juga dikenal karena novel grafis drama sejarahnya, seperti Kraman, Godfather 1800, dan Gitanjali. Dia terampil dalam menggunakan teknik chiaroscuro untuk menciptakan visual yang penuh suasana yang menangkap latar sejarah ceritanya.

Selain karya sejarahnya, Teguh juga membuat sejumlah besar komik Silat yang populer di Indonesia pada tahun 1970-an dan 1980-an. Meskipun begitu, dia tetap berkomitmen untuk menciptakan karakter perempuan yang kuat, sesuatu yang tidak umum dalam komik Indonesia pada saat itu.

Secara keseluruhan, kontribusi Teguh Santosa terhadap komik Indonesia tidak dapat dianggap remeh. Pengaruhnya pada industri masih terlihat dalam “gaya Teguh” pembuatan komik yang muncul pada tahun 1980-an, dan karyanya terus dirayakan oleh penggemar dan seniman.